Dan
bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya
seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.
(Yaitu) orang-orang yag menafkahkan (hartanya), baik diwaktu lapang maupun
di waktu sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan
(kesalahan) orang, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. Dan (juga)
orang yang apabila melakukan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri,
mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan
siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah. Dan mereka tidak
meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu
balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya, dan itulah
sebaik-baik pahala orang yang beramal (Qs. Ali Imran 133-136).
Pada
ayat pertama dari kelompok ayat diatas, Allah SWT memerintahkan terhadap
orang-orang yang beriman untuk bersegera meraih ampunan dan surga yang
sangat luas yang disediakan untuk mereka yang bertakwa. Kemudian pada
ayat-ayat selanjutnya Allah SWT menjelaskan beberapa perilaku orang bertakwa
tersebut.
Setidaknya ada lima perilaku takwa yang digambarkan Allah pada ayat-ayat di
atas, berikut penjelasannya:
Berinfak
diwaktu lapang dan sempit
Termasuk
perilaku orang bertakwa adalah berinfaq dalam keadaan bagaimanapun, baik
dalam keadaan lapang (berkecukupan) ataupun dalam keadaan sempit
(kekurangan). Mereka berusaha untuk selalu dapat membantu orang lain sesuai
dengan kemampuan. Mereka tidak pernah melalaikan infaq meski terkadang
mereka sendiri sedang kesulitan.
Dalam
suatu hadits Rasulullah SAW menyatakan: Jauhkanlah dirimu dari api neraka
walaupun dengan (bersedekah) sebutir kurma (HR. Muttafaq alaih).
Menurut
Rasyid Ridha (AL-Manar III, hal. 123-133) Allah memulai gambaran orang
bertakwa dengan infaq karena dua hal berikut: Pertama; infaq adalah
kebalikan dari riba yang dilarang oleh ayat sebelumnya (Qs. Ali Imran 130).
Riba adalah pemerasan yang dilakukan oleh orang kaya terhadap orang yang
membutuhkan pertolongan dengan memakan hartanya dari bayaran hutang yang
berlipat ganda. Sedangkan infaq adalah sebuah pertolongan kepada orang yang
membutuhkan tanpa imbalan. Kedua; Sesungguhnya infaq adalah sesuatu yang
tidak mudah dilakukan karena kecintaan manusia terhadap harta. Oleh karena
itu, barangsiapa yang sanggup menginfakkan harta diwaktu lapang dan sempit,
jelas menunjukkan sikap kepatuhan, ketundukkan hati, yang merupakan sebuah
ketakwaan.
Anjuran
dan perintah berinfaq pada waktu lapang adalah untuk menghilangkan perasaan
sombong, rakus, aniaya, cinta yang berlebihan terhadap harta, dan lain-lain.
Sedangkan anjuran bersedekah di waktu sulit adalah untuk merobah sifat
manusia yang lebih suka diberi dari pada memberi. Sebenarnya sesusah apapun,
manusia masih bisa memberikan sesuatu di jalan Allah walaupun sedikit.
Dorongan ini ada pada diri setiap orang tetapi kadang-kadang tidak muncul.
Untuk itu agamalah yang menumbuhkan kesadaran itu.
Menahan
marah
Selanjutnya perilaku orang yang bertakwa adalah mampu menahan marah dengan
tidak melampiaskan kemarahan walaupun sebenarnya ia mampu melakukannya. Kata
al-kazhimiin berarti penuh dan menutupnya dengan rapat, seperti wadah yang
penuh dengan air, lalu ditutup rapat agar tidak tumpah. Ini mengisyaratkan
bahwa perasaan marah, sakit hati, dan keinginan untuk menuntut balas masih
ada, tapi perasaan itu tidak dituruti melainkan ditahan dan ditutup rapat
agar tidak keluar perkataan dan tindakan yang tidak baik. (Quraisy Shihab,
Tafsir al-Misbah, II, hal. 207).
Orang
yang mampu menahan marah, oleh Nabi SAW disebut sebagai orang yang kuat.
Beliau bersabda: Orang yang kuat bukanlah orang yang jago gulat, tetapi
(orang yang kuat itu adalah) orang yang mampu menahan dirinya ketika marah
(HR. Bukhari, Muslim, dan Abu Daud). Dalam hadits lain nabi juga bersabda:
Barangsiapa menahan marah padahal ia mampu untuk melampiaskannya, maka di
hari kiamat Allah akan memenuhi hatinya dengan keridhaan.
Memaafkan
Memaafkan berarti menghapuskan. Jadi seseorang baru dikatakan memaafkan
orang lain apabila ia menghapuskan kesalahan orang lain itu, kemudian tidak
menghukumnya sekalipun ia mampu melakukannya. Ini adalah
perjuangan untuk pengendalian diri yang lebih tinggi dari menahan marah.
Karena menahan marah hanya upaya menahan sesuatu yang tersimpan dalam diri,
sedangkan memaafkan, menuntut orang untuk menghapus bekas luka hati akibat
perbuatan orang. Ini tidak mudah, oleh karena itu pantaslah dianggap
perilaku orang bertakwa.
Untuk memberikan dorongan kepada manusia agar mau memaafkan,
Allah berulang kali memerintahkannya di dalam Al-Quran, antara lain dalam
surat Al-Araf 199, Al-Hijr 85, dan Asy-Syura 43. Sementara itu Rasulullah
SAW juga menjelaskan keuntungan orang-orang yang mau memaafkan kesalahan
orang lain, di antaranya:
Barangsiapa memberi maaf ketika dia mampu membalas, maka
Allah akan mengampuninya saat ia kesukaran. Dan Orang yang memaafkan
terhadap kezhaliman, karena mengharapkan keredhaan Allah, maka Allah akan
menambah kemuliaan kepadanya di hari kiamat (Lengkapnya dapat dilihat dalam
Muhammad Ahmad al-Hufy, Edisi Indonesia, hal. 272).
Nabi Muhammad SAW sebagai uswatun hasanah kita, adalah
seseorang yang sangat pemaaf. Aisyiyah r. a. berkata: Saya belum pernah
melihat Rasulullah SAW membalas karena beliau dianiaya selama hukum Allah
tidak dilanggar. Beliau akan memaafkan kesalahan orang lain yang mengenai
dirinya, karena itu adalah sifat utama.
Berbuat ihsan
Ini adalah tingkat yang lebih tinggi dari tiga perilaku
takwa sebelumnya. Allah mencintai orang yang berbuat ihsan dengan berbagai
cara yang mungkin dilakukannya. Dalam menafsirkan ayat ini Muhammad Rasyid
Ridha mengemukakan suatu riwayat yang menggambarkan bahwa berbuat ihsan itu
adalah sebagai puncak dari tiga sifat utama sebelumnya: Seorang budak
melakukan sesuatu pelanggaran yang membuat tuannya sangat marah. Budak itu
berkata kepada tuannya: Tuan, Allah SWT berfirman wal kazhimiin alghaizha,
maka tuannya menjawab: Aku telah menahan marahku. Budak itu berkata lagi,
Allah telah berfirman walafiina aninnaas, yang dijawab oleh tuannya: Kamu
telah kumaafkan. Budak itupun melanjutkan lagi, bahwa Allah telah berfirman
wallahu yuhibbul muhsiniin, tuannya menjawab: Pergilah! Engkau merdeka
karena Allah. (Muhammad Rasyid Ridha, IV, hal. 135). Riwayat senada juga
dikemukakan oleh Al-Maraghi dalam menafsirkan ayat ini.
Cepat menyadari kesalahan lalu beristighfar
Perilaku ini menggambarkan bagaimana orang yang bertakwa
menghadapi dirinya sendiri, yaitu bila dia, sengaja atau tidak, melakukan
perbuatan dosa seperti, membunuh, memakan riba, korupsi, berzina, atau
menganiaya diri sendiri seperti minum khamar, membuka aurat, tidak shalat,
tidak berpuasa, dan sebagainya, mereka langsung ingat Allah, sehingga merasa
malu dan takut kepadaNya. Lalu ia cepat menyesali semua perbuatannya dan
memohon ampun sambil bertekad tidak akan mengulangi lagi kesalahan itu.
Orang mumin yang bertakwa setelah bertaubat tidak akan
mengulang pelanggaran yang telah dilakukannya, karena ia akan selalu ingat
dan takut kepada Allah.
Dalam ayat ini Allah juga menegaskan dua hal, pertama; Hanya
Allah lah tempat memohon ampunan, karena hanya Allah juga yang mampu memberi
ampunan. Kedua; ayat ini menunjukkan batapa Maha Pemaaf dan Pengampunnya
Allah.
Untuk mereka yang memenuhi lima kriteria diatas, Allah
menjanjikan balasan berupa ampunan, selamat dari siksaan, mendapat pahala
yang besar, dan memperoleh surga yang sangat luas dan menyenangkan.
Itu semua adalah sebaik-baik balasan dan imbalan Allah terhadap amal yang
telah mereka lakukan.
(Isnawati Rais: Dosen IAIN Imam Bonjol)
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus